Senin, 07 April 2008

Mungkin Sekali Saya Sendiri Juga Maling

Oleh Taufiq Ismail

Kita hampir paripurna menjadi bangsa porak-poranda,
terbungkuk dibebani hutang dan merayap melata sengsara
di dunia. Penganggur 40 juta orang,anak-anak tak bisa
bersekolah 11 juta murid, pecandu narkoba 6 juta anak
muda, pengungsi perang saudara 1 juta orang, VCD
koitus beredar 20 juta keping, kriminalitas merebat di
setiap tikungan jalan dan beban hutang di bahu 1600
trilyun rupiahnya.

Pergelangan tangan dan kaki Indonesia diborgol di
ruang tamu Kantor Pegadaian Jagat Raya, dan di
punggung kita dicap sablon besar-besar: Tahanan IMF
dan Penunggak Bank Dunia.

Kita sudah jadi bangsa kuli
dan babu, menjual tenaga dengan upah paling murah
sejagat raya.

Ketika TKW-TKI itu pergi lihatlah mereka bersukacita
antri penuh harapan dan angan-angan di pelabuhan dan
bandara, ketika pulang lihat mereka berdukacita karena
majikan mungkir tidak membayar gaji, banyak yang
disiksa malah diperkosa dan pada jam pertama mendarat
di negeri sendiri diperas pula.

Negeri kita tidak merdeka lagi, kita sudah jadi negeri
jajahan kembali. Selamat datang dalam zaman
kolonialisme baru, saudaraku. Dulu penjajah kita satu
negara, kini penjajah multi kolonialis banyak bangsa.
Mereka berdasi sutra, ramah-tamah luar biasa dan
banyak senyumnya. Makin banyak kita meminjam uang,
makin gembira karena leher kita makin mudah
dipatahkannya.

Di negeri kita ini, prospek industri bagus sekali.
Berbagai format perindustrian, sangat menjanjikan,
begitu laporan penelitian. Nomor satu paling wahid,
sangat tinggi dalam evaluasi, dari depannya penuh
janji, adalah industri korupsi . Apalagi di negeri
kita lama sudah tidak jelas batas halal dan
haram,ibarat membentang benang hitam di hutan kelam
jam satu malam. Bergerak ke kiri ketabrak copet,
bergerak ke kanan kesenggol jambret, jalan di depan
dikuasai maling, jalan di belakang penuh tukang peras,
yang di atas tukang tindas. Untuk bisa bertahan
berakal waras saja di Indonesia, sudah untung.
Lihatlah para maling itu kini mencuri secara
berjamaah. Mereka bersaf-saf berdiri rapat, teratur
berdisiplin dan betapa khusyu'. Begitu rapatnya mereka
berdiri susah engkau menembusnya. Begitu sistematiknya
prosedurnya tak mungkin engkau menyabotnya. Begitu
khusyu'nya, engkau kira mereka beribadah. Kemudian
kita bertanya, mungkinkah ada maling yang istiqamah?
Lihatlah jumlah mereka, berpuluh tahun lamanya,
membentang dari depan sampai ke belakang, melimpah
dari atas sampai ke bawah, tambah merambah panjang
deretan saf jamaah. Jamaah ini lintas agama, lintas
suku dan lintas jenis kelamin.
Bagaimana melawan maling yang mencuri secara
berjamaah? Bagaimana menangkap maling yang prosedur
pencuriannya malah dilindungi dari atas sampai ke
bawah? Dan yang melindungi mereka, ternyata, bagian
juga dari yang pegang senjata dan yang memerintah.

Bagaimana ini?

Tangan kiri jamaah ini menandatangani disposisi MOU
dan MUO (Mark Up Operation), tangan kanannya membuat
yayasan beasiswa, asrama yatim piatu dan sekolahan.
Kaki kiri jamaah ini mengais-ngais upeti ke sana ke
mari, kaki kanannya bersedekah, pergi umrah dan naik
haji.
Otak kirinya merancang prosentasi komisi dan
pemotongan anggaran,otak kanannya berzakat harta,
bertaubat nasuha dan memohon ampunan Tuhan.Bagaimana
caranya melawan maling begini yang mencuri secara
berjamaah? Jamaahnya kukuh seperti diding keraton, tak
mempan dihantam gempa dan banjir bandang, malahan
mereka juru tafsir peraturan dan merancang
undang-undang, penegak hukum sekaligus penggoyang
hukum, berfungsi bergantian.
Bagaimana caranya memroses hukum maling-maling yang
jumlahnya ratusan ribu, barangkali sekitar satu juta
orang ini, cukup jadi sebuah negara mini, meliputi
mereka yang pegang kendali perintah, eksekutif,
legislatif, yudikatif dan dunia bisnis, yang pegang
pestol dan mengendalikan meriam, yang berjas dan
berdasi. Bagaimana caranya?

Mau diperiksa dan diusut secara hukum?

Mau didudukkan di kursi tertuduh sidang pengadilan?

Mau didatangkan saksi-saksi yang bebas dari ancaman?

Hakim dan jaksa yang bersih dari penyuapan?

Percuma

Seratus tahun pengadilan, setiap hari 8 jam
dijadwalkan Insya Allah tak akan terselesaikan. Jadi,
saudaraku, bagaimana caranya? Bagaimana caranya supaya
mereka mau dibujuk, dibujuk, dibujuk agar bersedia
mengembalikan jarahan yang berpuluh tahun dan
turun-temurun sudah mereka kumpulkan. Kita doakan
Allah membuka hati mereka, terutama karena terbanyak
dari mereka orang yang shalat juga, orang yang
berpuasa juga, orang yang berhaji juga.

Kita bujuk baik-baik dan kita doakan mereka.

Celakanya, jika di antara jamaah maling itu ada
keluarga kita, ada hubungan darah atau teman sekolah,
maka kita cenderung tutup mata, tak sampai hati
menegurnya.
Celakanya, bila di antara jamaah maling itu ada orang
partai kita, orang seagama atau sedaerah, kita
cenderung menutup-nutupi fakta, lalu
dimakruh-makruhkan dan diam-diam berharap semoga kita
mendapatkan cipratan harta tanpa ketahuan.
Maling-maling ini adalah kawanan anai-anai dan rayap
sejati. Dan lihat kini jendela dan pintu rumah
Indonesia dimakan rayap. Kayu kosen, tiang,kasau,
jeriau rumah Indonesia dimakan anai-anai. Dinding dan
langit-langit, lantai rumah Indonesia digerogoti
rayap. Tempat tidur dan lemari, meja kursi dan sofa,
televisi rumah Indonesia dijarah anai-anai.

Pagar pekarangan, bahkan fondasi dan atap rumah
Indonesia sudah mulai habis dikunyah-kunyah rayap.
Rumah Indonesia menunggu waktu, masa rubuhnya yang
sempurna.

Aku berdiri di pekarangan, terpana menyaksikannya.
Tiba-tiba datang serombongan anak muda dari kampung
sekitar.

"Ini dia rayapnya! Ini dia Anai-anainya! " teriak
mereka.

"Bukan. Saya bukan Rayap, bukan!" bantahku.

Mereka berteriak terus dan mendekatiku dengan sikap
mengancam.

Aku melarikan diri kencang-kencang.

Mereka mengejarkan lebih kenjang lagi.

Mereka menangkapku.

"Ambil bensin!" teriak seseorang.

"Bakar Rayap," teriak mereka bersama.

Bensin berserakan dituangkan ke kepala dan badanku.

Seseorang memantik korek api.

Aku dibakar.

Bau kawanan rayap hangus.

Membubung Ke udara.

Tidak ada komentar:

Nice Word

Bongkarlah penat deritamu menjadi benderang kebahagiaan,

Kesedihanmu menjadi keceriaan, kekikiranmu menjadi kedermawanan

Dan gelegak kemarahanmu menjadi kesabaran

Jadikan musibah sebagai kesenangan dan keimanan sebagai senjata

My Slide